DIKOTOMI YALI HUMLI – YALI TABUI
Dikotomi Humli –Tabui : Pengetahuan Etno-Geografi Orang Yali
di Pegunungan Tengah Papua
Yusuf Sawaki dan Kristian Walianggen
Center for Endangered Languages Documentation
Universitas Negeri Papua
ysawaki@fulbrightmail.org dan walliechrizt@yahoo.com
Abstract
The landscape constitutes an important domain of the Yalis experience not only in identifying their topographical areas where they belong to but also in characterizing the whole world of the Yalis. The landscape dichotomy used by the Yalis is an initial approach to explore other essential knowledge existing in the Yali world. Tabui ‘hot place’ and Humli ‘cold place’ are two topographical terms used in the basic concept of ethnogeographical knowledge of the Yalis. The two terms extend their lexical meaning to describe other semantic and pragmatic domains. This paper aims at describing the ethno-geographical knowledge of landscape features that exist among the Yalis of New Guinea.
Pendahuluan
Yali inap nin humli fil wereg
Yali orang beberapa daerah.dingin arah ADA
nin tabui fil wereg
beberapa daerah.panas arah ADA
‘Ada orang Yali yang tinggal di daerah dingin dan ada orang Yali yang tinggal di daerah panas’.
Membedakan seseorang dari orang lain atau sekelompok masyarakat dari kelompok yang lainnya adalah dikotomi yang biasa digunakan dalam mengidentifikasi diri – kami vs. kalian. Dikotomi akan muncul ketika seseorang atau sekelompok masyarakat berada di antara orang lain atau kelompok masyarakat yang lain. Identifikasi diri dengan dikotomi yang jelas merupakan hal dasar untuk mengenal eksistensi dan identitas diri masing-masing dan dengan demikian mereka saling mengakui dan menghargai keberadaan masing-masing. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya dikotomi dalam kehidupan sosial manusia. Faktor-faktor itu diantaranya: fisik dan karakter manusia sebagai individu, tetapi sebagai kelompok masyarakat bisa berupa, penampakan fisik, sistem kepercayaan, sistem kekerabatan, aktifitas sosial budaya, bahasa dan wilayah serta lingkungan alam.
Wilayah adalah salah satu faktor yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi diri dan membedakan sekelompok orang dari sekelompok orang yang lain. Di dalam dunia yang mengenal batasan wilayah politik, wilayah menjadi faktor mengidentifikasi diri dan membedakan diri dari orang lain. Meskipun sama-sama rumpun Melayu, tetapi Orang Indonesia dan orang Malaysia mengidentifikasikan diri berbeda karena batasan wilayah politik. Lebih khusus, dalam konteks tertentu wilayah dan lingkungan sekitar juga dapat menjadi faktor penentu pola pengindentifikasian diri bagi kelompok masyarakat.
Penduduk suku Yali di pegunungan Tengah Papua merupakan salah satu kelompok masyarakat yang membuat dikotomi berdasarkan letak wilayah geografi, topografi dan lingkungannya. Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan bagaimana masyarakat Yali menggunakan pengetahuan etno-geografi untuk mengidenfisikasi manusia berdasarkan lingkungan alam beserta ekosistem yang ada di dalam lingkungan tersebut. Penduduk Yali yang dimaksud dalam tulisan ini adalah penduduk Yali yang mendiami wilayah Yali yang menggunakan dialek Apahapsili (Middle Yali).
Tulisan ini dibagi dalam beberapa bagian: bagian pertama adalah bagian pendahuluan. Bagian kedua menggambarkan situasi umum tentang letak geografis, etnografi dan linguistik, terutama tentang wilayah dialek Apahapisili sebagai fokus dari tulisan ini. Bagian keempat menggambarkan konsep etno-geografi orang Yali tentang topografi. Di bagian ini pandangan dasar tentang bagaimana orang Yali membuat dikotomi tentang wilayahnya, yaitu tentang lokasi kampung-kampung dan karakteristik topografi. Lebih jauh, bagian ini memaparkan konsep-konsep dasar di mana dikotomi wilayah diperluas pengertian semantiknya ke konsep-konsep lain. Bagian kelima memaparkan dua pandangan utama di dalam pengetahuan etno-geografis orang Yali: Tabui versus Humli and Lema vs. Ahamu. Bagian keenam adalah bagian penutup dan kesimpulan.
Suku Yali: letak geografi, etnografi dan linguistik
Yali bukan panggilan atau nama yang diberikan oleh orang Yali sendiri (self-reference). Yali adalah istilah umum (generic term) yang dipakai untuk menunjuk arah timur, arah matahari terbit oleh masyarakat di pegunungan tengah Papua. Istilah Yali diberikan oleh Orang Hubula atau Dani, penduduk lembah Balim untuk suku tetangganya di sebelah timur, yang mendiami pegunungan sebelah timur di mana matahari terbit. Istilah Yali merujuk kepada orang, suku, tempat dan juga bahasa. Biasanya, tempat yang didiami oleh orang Yali disebut Yalimu ‘tempat orang Yali’. Penduduk Yali dikenal dengan ikat pinggang rotan yang disebut sabiyap dalam bahasa Yali, yang dikenakan oleh para lelaki Yali dan penutup kepala dari sum ‘Noken’. Cara berpakaian seperti ini yang membedakan orang Yali dari orang Hubula (Dani) di sebelah barat.
Suku Yali mendiami deretan pegunungan di sebelah timur dari lembah Agung Balim mulai dari bagian timur pegunungan Van Dalen dan deretan Pegunungan Mandala dari arah barat ke Timur sampai berbatasan dengan Pegunungan bintang (star mountain ranges) di bagian timur. Deretan pegunungan sebelah timur ini tidak terdapat lembah-lembah besar dan luas sebagaimana lembah Balim dan topografi di wilayah pegunungan tengah sebelah barat. Oleh karena itu, o-pumbuk atau o-sili ‘perkampungan-perkampungan’ masyarakat Yali terletak di lereng-lereng curam dan pinggiran sungai-sungai sepanjang pegunungan dari Timur ke Barat (Zollner, 2011). Sungai-sungai utama yang mengalir di daerah penduduk Yali adalah Ubahak, Yahuli, Heluk, Sibi, Ponteng di bagian Timur dan Werenggik, Habie, Landi di sebelah barat ke arah utara. Dikarenakan topografi daerah yang terdiri dari gunung-gunung tinggi dan lereng-lereng yang curam dan sungai-sungai besar, penduduk Yali membentuk pola perkampungan yang terpisah-pisah, cenderung kecil dan jauh antara satu kampung dengan yang lainnya. Tidak seperti suku tetangga mereka Hubula/Dani yang cenderung memiliki pola perkampungan yang akan besar. Meskipun demikian sebaran tempat tinggal orang Yali mulai dari dataran rendah sekitar 1000 m di atas permukaan laut sampai dengan ketinggian 4000an meter di atas permukaan laut.
Wilayah yang begitu luas dari daratan rendah sampai kepada puncak-puncak gunung yang tinggi membentuk iklim yang sangat berbeda. Wilayah dataran rendah terdapat di bagian utara ke arah barat laut yang berbatasan langsung dengan dataran luas sungai Mamberamo. Di dataran rendah ini terkenal dengan wilayah yang ditumbuhi hutan sagu. Sedangkan sebagian besar wilayah terdiri dari daerah dataran tinggi.
Secara linguistik, bahasa Yali termasuk dalam rumpun bahasa Dani. Secara lengkap klasifikasi linguistik dinyatakan bahwa bahasa Yali tergolong dalam pilum Trans-New Guinea, Stok Dani-Kwerba, Divisi Selatan, Keluarga Bahasa Dani Raya (Wurm, 1975:345). Bahasa Yali terdiri dari empat dialek, yaitu: dialek Ninia di sebelah selatan, dialek Angguruk di sebelah timur, dialek Apahapsili di bagian tengah ke arah utara dan dialek Pass Valley di bagian Barat. Sampai sekarang bahasa Yali masih digunakan sebagai bahasa utama dalam semua segi kehidupan. Pemertahanan bahasa Yali masih kuat jika dibandingkan dengan bahasa-bahasa daerah lain di wilayah lain di Papua.
Kontak dengan dunia luar terjadi di akhir tahun 1950 ketika misionaris dari beberapa organisasi gereja menemukan pemukiman orang Yali dan mulai membuka daerah-daerah di pegunungan sebelah Timur lembah Balim. Misi-misi pelayanan Kristen yang pertama bekerja di daerah orang Yali antara lain the Netherlands Reformerde Church (NRC) bekerja di daerah Pass Valley dan Landikma, Beyond Missionary Union (RBMU) di lembah Heluk, Seng dan Kwik, dan Gereja Kristen Injili di Tanah Papua (GKI di Tanah Papua) yang bekerja di wilayah Angguruk di timur sampai di Apahapsili di Barat laut yang berbatasan dengan lembah Landi.
Di dalam satu o-pumpuk atau o-sili ‘perkampungan’ biasanya terdiri dari beberapa rumah sampai puluhan rumah. Pola kampung selalu berpusat pada kelompok-kelompok patriakal atau rumah-rumah laki-laki. Bentuk rumah orang Yali adalah bulat dengan atap yang tajam dan memanjang ke atas, tidak sama dengan bentuk rumah orang Dani yang bulat dan atapnya juga bulat seperti parabola. Pada umumnya, kampung-kampung terdiri dari beberapa yowi ‘rumah laki-laki’ and satu atau dua homi ‘rumah perempuan’ dan yowi ‘rumah laki-laki’ adalah pusat dari perkampungan orang Yali. Yowi selalu berhubungan dengan sistem marga dan kekerabatan, seperti yowi Nasinema ‘rumah laki-laki marga Faluk’ dari wilayah Apahapsili merupakan yowi dari kekerabatan Faluk , atau yowi Sinuak ‘rumah laki-laki marga Walianggen ‘ yang merupakan yowi dari kekerabatan Walianggen . Konsep ini tidak dapat digunakan untuk homi ‘rumah perempuan.’
Studi-studi terdahulu
Beberapa studi tentang Yali dari berbagai disiplin ilmu pernah dilakukan sejak akhir tahun 1950. Penelitian-penelitian ini pada umumnya dilakukan oleh para misionari yang bekerja di daearh orang Yali antara lain Zollner (1970-an) dari GKI, Fahner dari NRC (1979), dan Dale dan de Leeuw dari RMBU (1976), Tometten dari GKI (1997), dan Wilson dari GIDI (1976) yang telah melakukan penelitian dalam bidang linguistik, antropologi, dan terjemahan Alkitab. Studi-studi mereka kemudian dijadikan referensi-referensi kunci bagi peneliti-peneliti lain dari berbagai disiplin ilmu yang melakukan penelitian di daerah Yali. Salah satu hasil publikasi yang terkenal tentang orang Yali adalah the religion of Yali karya Zollner (1979) yang dipublikasikan dalam bahasa Jerman dan Inggris dan pada tahun 2011 dipublikasikan dalam bahasa Indonesia. Buku ini telah menjadi referensi utama untuk studi antropologi orang Yali. Pada tahun 1974, Koch menulis tentang perang dan perdamaian di Yalimo. Tulisan ini memaparkan manajemen konflik di Pegunungan Tengah Papua. Terdapat juga beberapa tulisan dari Koch tentang budaya oran Yali seperti Sistem perkawinan (1968), Sistem dan istilah-istilah kekerabatan orang Yali (1970), dan Harta dan antropologi dalam masyarakat Yali (1970).
Beberapa study terkini dalam berbagai bidang juga telah dilakukan. Sawaki (1998) menulis tentang sistem kata kerja bahasa Yali. Wiliken (n.d) memaparkan tentang etno botani Yali. Ibrahim Peyon secara intensif menghasilkan beberapa tulisan berbasis antropologi tentang Yali yaitu sistem kekerabatan suku bangsa Yali (2001), struktur sosial dan kekerabatan orang Yali (2012). Dalam bidang linguistik, dua mahasiswa asli Yali menulis skripsi sarjana tentang bahasa Yali yaitu Affixations in Yali language of Apahapsili dialect (Walianggen. K, 2012) dan Verb Agreement in Yali language (Walianggen. Y, 2012).
Konsep etno-geografi
Manusia, selain hidup secara individu, juga hidup dan membentuk kelompok-kelompok berdasarkan persamaan ras, etnik, budaya, cara pandang dan juga kepentingan sosial, ekonomi dan politik. Persamaan-persamaan ini membentuk interaksi dan hubungan sosial yang dinamis yang kemudian membentuk identitas dari kelompok-kelompok masyarakat dimaksud. Selain interaksi antara manusia baik di dalam satu kelompok maupun antar kelompok sosial, manusia juga menciptakan relasi dan interaksi dengan lingkungan alamnya dan tidak hanya membentuk hubungan yang dangkal dan kaku tetapi merekonstruksi suatu hubungan yang menciptakan suatu sistem sosial berdasarkan formulasi budaya, formulasi sosial dan formulasi cara pandang (Boogaart II, 2001).
Pengetahuan tradisional tentang topografi dilihat sebagai suatu konsep budaya karena berhubungan dengan kehidupan materi maupun hasil dari kehidupan sosial. Oleh karena itu, wilayah tanah, termasuk konsep wilayah hak ulayat adat, dan topografi dipandang penting sebagai konsep pembentukan kekuatan, ideologi dan identitas suatu masyarakat. Pandangan ini mengandung makna bahwa relasi sosial antara satu kelompok masyarakat dengan lingkungan alamnya, termasuk di dalamnya topografi dan letak wilayah, akan membentuk ‘dunia’ mereka dan juga meformulasikan cara pandang kelompok itu sehingga menjadi kekuatan, membentuk ideologi dan identitas yang dipakai untuk melihat dan memandang kelompok masyarakat lain.
Ketika wilayah dan lingkungan alam dilihat sebagai konsep materi kebudayaan yang membentuk kekuatan, ideologi dan identitas dalam hubungan relasi antar kelompok masyarakat, definisi dan pandangan masyarakat terhadap wilayah dan lingkungan alamnya, termasuk juga ekosistem di dalamnya, lebih dinamis dan menghasilkan makna semantik yang luas. Dengan demikian, semua kelompok masyarakat di dalam ‘dunia’ mereka dengan wilayah dan lingkungan alamnya akan membentuk jejaringan sosial, prinsip-prinsip moral dan nilai-nilai yang dibutuhkan untuk kehidupan kolektifitas sosial.
Lebih jauh, wilayah dan lingkungan alam, interaksi masyarakat, dan konsep budaya dalam membentuk kekuatan, ideologi dan identitas menjadikan materi abstrak terpadu ( collective cognitive materials ) akan menciptakan ilmu pengetahuan tentang manusia dan alam sekitar secara turun temurun dalam suatu kelompok masyarakat. Konsep ini lebih dikenal sebagai pengetahun etno-geografi (ethno-geography) yang merupakan satu bagian dari cabang ilmu geografi budaya (cultural geography) (liht. Agnew dan Duncan, 1989).
Dalam masyarakat suku seperti masyarakat Yali yang memiliki konsep hubungan antar manusia dan hubungan manusia dan alam, pengetahuan ini merupakan warisan budaya yang digunakan untuk melihat dunia termasuk dunia masyarakat Yali dan dunia yang lebih luas. Dunia ini kemudian dibagi dan dikelompokkan secara real dan dengan demikian dibuat dikotomi antar bagian-bagiannya dengan jelas. Mereka membentuk pola berpikir dari dunia nyata (materi alam) ke dunia abstrak yang lebih luas (pengetahuan, kekuatan, ideology dan identitas).
Humli versus Tabui
Karakteristik alam di wilayah yang dihuni oleh masyarakat suku Yali terbagi dalam beberapa zone topografi dan juga zone ekologi, sebagaimana telah dijabarkan di atas. Wilayah bergunung-gunung dengan lembah yang curam mendominasi wilayah pemukiman suku Yali. Meskipun demikian, terdapat pula wilayah pegunungan rendah dan dataran rendah di bagian utara ke arah barat yang ekologinya berbeda dengan daerah pegunungan. Sungai-sungai besar juga membentuk karakteristik alam dan sebagai kebutuhan masyarakat Yali baik bagi sumber air tetapi juga sebagai wilayah pemukiman.
Karakteristik alam seperti ini kemudian membentuk dikotomi yang jelas dalam pola identifikasi dan ideology masyarakat Yali. Terdapat masyarakat Yali yang mendiami wilayah pegunungan tinggi dan juga ada yang mendiami wilayah dataran rendah. Dengan kriteria-kriteria yang jelas, dikotomi ini juga kemudian membentuk konsep semiotik fisik yang jelas. Dengan konsep semiotik fisik ini dibentuk konsep kategorisasi yang kemudian menghasilkan penamaan wilayah.
Masyarakat Yali membagi zone ekologi mereka ke dalam dua zone utama yaitu Humli ‘cold’ dan Tabui ‘warm/hot’. Humlimu atau Humlimu ‘tempat dingin’ adalah zone daerah pegunungan tinggi di atas 2000 meter di atas permukaan laut. Temperatur di daerah ini berkisar antara 20 °C di siang hari sampai di bawah 10 °C di malam hari. Sedangkan Tabui atau Tabuimu ‘tempat panas’ adalah zone daerah pegunungan rendah sampai di daerah dataran rendah sebelah utara ke arah barat. Temperatur di zone ini berkisar antara 30 °C di siang hari sampai kurang lebih 15 °C – 20 °C di malam hari. Untuk menandakan batasan dari dua zone daerah ini, masyarakat Yali mengenal zone perbatasan yang disebut Humli minggirik Tabui Minggirik ‘batasan wilayah antara humli dan tabui ‘. Wilayah ini ditentukan berdasarkan pengetahuan terhadap ekosistem yang menjadi ekosistem antara bagi dua zone dimaksud.
Dikotomi humlimu versus tabuimu ini juga digunakan oleh orang Yali sebagai pendekatan untuk mengamati dan mengidentifikasi pengetahuan-pengetahuan lainnya yang sangat penting di dalam dunia orang Yali. Dua istilah ini definisinya dikembangkan dari sekedar melihat leksikal semantik dari ke dua kata itu ke arah aspek semantik dan pragmatik yang lebih luas. Selain topografi zone ekologi dan temperaturnya, kedua istilah ini juga mengandung arti tentang pembagian zone tumbuhan dan zone hewan.
Ekologi tumbuhan juga jelas antara wilayah humlimu dan tabuimu . Banyak tumbuhan yang berada di wilayah humlimu tidak terdapat di wilayah tabuimu . Tumbuh-tumbuhan yang masuk dalam zone humlimu adalah sahi ‘sejenis kayu besi’, wile ‘Kasuarina’, pangge ‘sejenis kayu yang ringan’, hilak ‘sejenis pandanus’, mut ‘sejenis kayu besi yang jenis kecil’, hulubi ‘sejenis pohon yang daunnya besar dan berbunga merah’, sip ‘sejenis phon kasuariana’, pingga siri hutan ‘sejenis tali hutan yang biasa digunakan untuk masak daging dan untuk obat bagi orang sakit’, imbir ‘sejenis tanaman umbi-umbian’. Sedangkan tumbuhan yang tumbuh di daerah tabuimu adalah kel sumban ‘pohon matoa’, yasi ‘sagu’, hindali ‘pohon damar’, imik ‘sejenis pohon kecil yang daunnya bulat dan batangnya tidak kuat’ dan samle ‘sejenis pohon yang daunnya kecil dan halus’.
Ekologi Hewan juga dibedakan berdasarkan dua zone ekologi ini. Jenis hewan yang berada di zone humlimu adalah yalme ‘burung merpati hutan’, fibe ‘burung nuri’, puali ‘sejenis burung cenderawasih’, weye ‘kus-kus pohon’, irig ‘sejenis kus-kus pohon’, kawang ‘sejenis kus-kus pohon’, manu ‘sejenis ular’, ulo ‘sejenis kadal yang dapat dimakan’, sani ‘sejenis katak’ dan kinggasenggia ‘sejenis katak yang berwarna-warna’. Hewan-hewan ini hanya terdapat di zone humlimu dan tidak berada di zone tabuimu. Sedangkan hewan yang berada di zone tabuimu adalah hamko ‘sejenis katak yang besar’, wik ‘sejenis katak yang bisa dibunuh dengan panah dan tidak bisa di tangkap’, kibol ‘sejenis katak’, kawiri ‘burung taon-taon’, meyum ‘sejenis cenderawasih yang bermakhota kuning’, yanggi ‘kakatua putih’, isaluk ‘kakatua hitam’, ikondir ‘sejenis burung kecil yang tidur di tanah’, pilak ‘maleo dengan telur putih’, hik ‘maleo dengan telur merah’, mula ‘sejenis ular pithon’, kaliye ‘sejenis ular besar yang dimakan’, alimbuk ‘sejenis ular berbisa’, maria ‘soa-soa yang di sungai’, tomang ‘sejenis soa-soa kecil’, sabilik ‘soa-soa yang besar’, kelenggik ‘sejenis kus-kus’, huhubi ‘kasuari’, dan pelesu ‘ikan’.
Dikotomi humli vs. tabui juga berlaku dalam mengidentifikasi manusia berdasarkan ciri-ciri fisik. Karakteristik fisik manusia Yali dapat dibedakan ke dalam zone-zone ini. Manusia Yali yang berasal dari humlimu adalah manusia Yali yang memiliki ciri-ciri fisik sebagai berikut: pendek, besar, kulit hitam, dan kekar dan kuat. Sedangkan manusia Yali dari tabuimu memiliki ciri-ciri fisik sebagai berikut: tinggi, kurus, perut sedikit besar, dan kulit putih.
Selain ciri-ciri fisik, masyarakat Yali di kedua zone ini juga dapat dibedakan berdasarkan marga-marga yang membentuk wilayah patriakal dalam o-pumbuk ‘perkampungan’. Marga-marga yang pada umumnya terdapat di zone humlimu adalah Wilil, Faluk, Wandik, Wasage, Hisage, Moslik, Aliknoe, Peyon . Sedangkan marga-marga yang terdapat di zone tabuimu adalah Kosay, Peyon, Walianggen, Mabel, Alua, Yare, Hisage, Kepno, Loho . Terdapat beberapa marga yang terdapat di kedua zone ini yaitu Hisage, Walianggen, Wandik, Faluk dan Peyon . Marga-marga ini hanya dibedakan berdasarkan wilayah topografi bukan berdasarkan sistem kekerabatan.
Perbedaan zone ini juga merujuk kepada sebaran penyakit yang biasanya diderita oleh manusia. Umpamanya, penyakit Malaria hanya terdapat di zone tabuimu tetapi tidak terdapat di zone humlimu . Juga, penyakit kulit seperti kudis dan gatal-gatal adalah penyakit di zone tabuimu dan tidak terdapat di zone humlimu . Juga, penyakit yang menyebabkan perut menjadi besar hanya terdapat di daerah tabuimu . Penyakit yang sering menyerang mereka yang tinggal di daerah humlimu adalah penyakit-penyakit ringan seperti beringus dan sakit kepala.
Pengenalan dan identifikasi yang bersumber pada jenis tumbuhan, spesies hewan, ciri-ciri fisik manusia dan penyakit membentuk dikotomi yang jelas. Dua zone ekologi adalah dua dunia dengan cara pandang dan pengetahuan yang berbeda.
Ideologi, identitas dan kepercayaan
Dikotomi humlimu dan tabuimu bukan hanya simbol-simbol karateristik alam dalam hubungannya dengan relasi manusia, tetapi secara mendalam telah menjadi materi yang membentuk konsep abstrak yang lebih komprehensif dan kompleks. Di dalam cara pandang orang Yali, kedua dikotomi ini telah menjadi identitas, ideology, dan bahkan kepercayaan.
Terlihat jelas bagaimana dikotomi ini digunakan sebagai sumber identitas nyata bagi kelompok-kelompok orang Yali yang mendiami dua zone ekologi ini. Istilah humlimu dan tabuimu digunakan untuk merujuk kepada penunjuk lokasi, penunjuk arah, dan identifikasi manusia. Orang Yali mengenal istilah-istilah sebagaimana terdapat di dalam tabel di bawah ini.
Tabel 1. Pembentukan identitas berdasarkan dikotomi zone ekologi
Humli |
Tabui |
Tempat/lokasi |
humli |
Tempat dingin |
tabui |
Tempat panas |
humlimu |
Di tempat dingin |
tabuimu |
Di tempat panas |
humlireg |
Kelihatan seperti tempat dingin |
tabuireg |
Kelihatan seperti tempat panas |
humli fil |
Di tempat dingin |
tabui fil |
Di tempat panas |
Petunjuk arah |
humlimuon |
Dari tempat dingin |
tabuimuon |
Dari tempat panas |
humlike |
Ke arah tempat dingin |
tabuike |
Ke arah tempat panas |
Manusia |
humli ahun |
Laki-laki dari tempat dingin |
tabui ahun |
Laki-laki dari tempat panas |
humlihe/humli hiyap |
Perempuan dari tempat dingin |
tabuihe/tabui hiyap |
Perempuan dari tempat panas |
Sebagai contoh, humlimuon ‘dari tempat dingin’ vs. tabuimuon ‘dari tempat panas’ digunakan untuk mengidentifikasikan tumbuhan, hewan dan juga manusia yang berasal dari zone ekologi ini. Di sini jelas bahwa struktur identitas masyarakat Yali selain ditentukan oleh sistem kekerabatan, sistem relasi sosial lainnya, tetapi juga ditentukan oleh zone ekologi.
Dikotomi humli vs tabui juga digunakan sebagai sumber ideology dan kepercayaan. Orang Yali yang mendiami zone humlimu ‘daerah dingin’ membentuk ideologi superioritas atas orang Yali yang mendiami zone tabuimu ‘daerah panas’. Ideologi superioritas dapat dilihat dari benturan cara pandang di mana wilayah humlimu dan apapun yang berada di dalamnya, baik itu tumbuhan, hewan dan manusia adalah yang terbaik. Sebagai contoh, orang Yali dari humlimu memandang mereka lebih kuat secara fisik dari orang-orang Yali di wilayah tabuimu . Ciri-ciri fisik seperti tubuh yang berotot, meskipun berperawakan pendek, jarang mendapatkan sakit, muka yang bersahaja menjadi ukuran dalam membentuk ideologi ini. Kualitas dari makanan yang dikonsumsi manusia dan hewan juga menjadi ukuran. Mereka meyakini bahwa mereka memiliki kualitas ubi dan sayuran yang baik dan bergizi, jika dibandingkan dengan kualitas ubi dan sayuran di daerah tabuimu. Ubi jalar jauh lebih nikmat dan berkualitas dibandingkan dengan singkong yang terdapat di daerah tabuimu. Diyakini bahwa babi-babi yang berasal dari daerah tabuimu adalah babi-babi dengan kualitas daging dan lemak yang rendah, rentan mendapat penyakit karena mengkonsumsi singkong. Sedangkan babi-babi yang berasal dari wilayah humlimu adalah babi-babi yang terbaik, memiliki daging dan lemak yang bermutu karena kwalitas ubi jalar yang baik sebagai makanan mereka.
Ideologi superioritas ini secara mendalam membentuk kepercayaan yang tumbuh di antara orang Yali. Mereka meyakini bahwa wilayah humlimu adalah terbaik. Hal ini bisa dilihat pada orang Yali yang berada di wilayah zone antara Humli minggirik Tabui Minggirik ‘batasan wilayah antara humli dan tabui ‘. Mereka lebih memilih berinteraksi dengan wilayah dan alam di zone humlimu . Mereka berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya dengan memperluas pengaruhnya di wilayah humlimu . Meskipun hubungan dengan orang Yali di wilayah tabuimu tetap ada dan kuat, tapi hubungan sosial dan interaksi dengan alam ke wilayah humlimu lebih dominan.
Dikotomi humli vs. tabui menjadi salah satu faktor penting bagi orang Yali untuk memandang dunia mereka. Relasi mereka dengan alam membentuk pengetahuan mendasar tentang bagaimana cara pandang terhadap hubungan sosial di dalam masyarakat Yali. Hal ini penting bahwa hubungan antara pengetahuan terhadap dunia, interaksi sosial, dan materi budaya membentuk identitas, ideologi dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Yali.
Kesimpulan
Wilayah dan lingkungan alam memiliki kekuatan sebagai satu pusat tematik di dalam sistem pengetahuan etno-geografi yang dikembangkan dalam masyarakat Yali. Sistem pengetahuan etno-geografi ini membentuk relasi sistematis terhadap sistem hubungan sosial, pengklasifikasian dan pembentukan cara pandang dalam masyarakat.
Pengetahuan etno-geografi masyarakat Yali memberi gambaran bagaimana topografi alam dan zone ekologi merupakan bagian materi budaya yang sangat penting bagi orang Yali untuk mengindentifikasikan diri mereka sendiri. Topografi juga membentuk dikotomi yang jelas dalam hubungan relasi sosial masyarakat Yali. Pengetahuan etno-geografi terhadap dikotomi humli-tabui diperluas dari sekedar pengetahuan yang terbatas terhadap lingkungan alam, menjadi pemahaman yang komprehensif yaitu menyangkut identitas diri, ideologi dan kepercayaan.
Referensi
Boogaart II, T. A. 2001. The power of place: from semiotics to ethnogeography. In Middle States Geographer , 34 (2001), pp. 28-47.
Fahner, C. (n.d.). Jali’s van de Passvalley . Untrecht. The Netherlands.
Koch, K. F. (1967). Conflict and its Management among the Jale people of West New Guinea . Ann Arbor. University of Michigan. (University microfilms).
Koch, K. F. (1968). Marriage in Jalemo. In Oceania , December 1968, XXXIX, 2. Hal. 85-109.
Koch, K. F. (1970). Structure and Variability in the Jale Kinship Terminology: A formal analysis. In Ethnology , 9: 3. Hal. 263-301.
Koch, K. F. (1970). Warfare and Anthropology in Jale society. In Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde, Dell 126, 1. Hal. 37-58.
Sawaki, Y . W. 1998. A comparative study of Middle Yali verbal systems and those of English . Unpublished Undergraduate thesis. Cenderawasih University. Jayapura.
Sawaki, Y . W. 2005. Person marking systems in Dani languages . Paper presented in the 6 ALT Conference, Padang, West Sumatera, Indonesia.
Wurm, S . A. (ed). 1975. New Guinea area languages and language study. Papuan languages and the New guinea Linguistic Scene . Pacific L:inguistics. C-38. Canberra.
Zöllner, Z. nd. Verbformen der Angguruk-sprache und Syntax der Angguruk-sprache . Angguruk. ms.
Zöllner, Z. 1988. The Religion of the Yali in the Highlands of Irian Jaya. The Melanesian Institute for Pastoral and Socio-Economic Service. Goroka
Zöllner, Z. 2011. Pohon Yeli dan Mitos Wam dalam Agama Orang Yali . Lembaga Alkitab Indonesia . Jakarta.
You must be logged in to post a comment.