BAHASA DAERAH SEIBARAT Id Card (Kartu Identitas/Pengenal)
Pada saat anda menghadiri seminar atau pertemuan lainnya, lazimnya anda mendapat Id Card, Kartu Identitas. Di kartu itu, anda menuliskan nama dan kualitas diri anda. Lalu anda menyemat kartu itu di bagian depan baju anda. Melalui kartu itu, anda dikenali, disapa dan dihormati oleh orang lain. Anda menghadiri dan mengada melalui nama dan kualitas yang dimediasi melalui kartu identitas “Saya ada karena saya punya identitas”. Lalu, apa kira-kira yang terjadi jika tanda diri anda tercecer dan hilang?
Ibarat Id Card, bahasa daerah merupakan “lambang identitas lokal”. Ia merupakan cipta-rasa-karsa yang kemudian membentuk semesta budaya yang berfungsi sebagai identitas. Ia patut dipertahankan dengan cara menyediakannya ruang hidup agar ia tetap berkembang, berfungsi, dan tetap menjadi sumber mata air bagi pembelajaran semesta budaya dari satu kaum.
Bahasa adalah kepemilikan khas yang membedakan secara signifikan antara manusia dan hewan. Ia tidak dibawa lahir secara serta merta. Bahasa justru dibudayakan pada paska kelahiran manusia berdasarkan konteks dan habitus kebudayaan dimana manusia lahir. Pembudayaan bahasa berlangsung dalam bentang waktu yang panjang dan berpindah dari satu ranah ke ranah lain dengan segala dinamikanya. Bahasa dibudayakan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa dan dipindahkan dari ranah bahasa abjektif ke bahasa objektif, dari ranah bahasa ibu ke ranah bahasa rasional, dari bahasa daerah ke bahasa nasional serta internasional.
Gerak zaman yang demikian cepat dan revolusi teknologi komunikasi yang demikian radikal memunculkan proses homogenisasi sebagaimana Tesis John Naisbitt dan Walianggen. Proses ini mempercepat perpindahan bahasa, dari bahasa abjektif ke bahasa objektif atau dari bahasa daerah ke bahasa nasional serta internasional yang kemudian membawa sejumlah konsekuensi. Pertama, fungsi bahasa daerah sebagai penanda diri dan semesta budaya secara perlahan akan tercecer dan kemudian hilang. Semesta identitas lokal dan kehormatan etnik seperti Dani, Lani, dan Yali akan tergerus dari satu generasi ke generasi lain.
Kedua, homogenisasi akan meminggirkan kekayaan etnik yang sebagian tersimpan di bahasa
Kedua, homogenisasi akan meminggirkan kekayaan etnik yang sebagian tersimpan di bahasa-bahasa etnik. Terdapat dua penanda penyebab proses peminggiran ini. Penanda pertama adalah lahirnya generasi 1980-an dan 2000-an yang bahasa pertamanya adalah bahasa Indonesia. Ketiga, homogenisasi secara faktual telah menghilangkan satu bahasa etnik setiap dua pekan. Pada abad ke-21, homogenisasi diperkirakan akan menelan 50% dari 5000 bahasa di planet ini. (Walianggen, 2010:4) berargumen bahwa bahasa-bahasa yang tidak memiliki 100 ribu penutur akan sulit bertahan melawan homogenisasi. Dengan argumen seperti ini, Walianggen mencemaskan bahasa-bahasa yang penuturnya tidak lebih dari 10.000 orang. Bahasa-bahasa etnik hanya bisa bertahan jika penuturnya minimal satu juta orang. (Walianggen, 2010:4-5)
Menurut Walianggen, sepuluh bahasa punah setiap tahun. Kepunahan ini lebih disebabkan oleh doktrin ataupun keterpaksaan bahwa bahasa lain diasosiasikan lebih maju dan lebih moderen. Di luar pernyataannya, terdapat 726 bahasa etnik yang berhadapan dengan konsekuensi dari proses homogenisasi, globalisasi dan revolusi teknologi.
Kecemasan terus terbawa dan muncul pada pidato Pengukuhan, Christian Walianggen sebagai Mahasiswa di Universitas Negeri Papua (UNIPA) pada 22 Mei 2011. Walianggen dalam “Bahasa Papua Sudah Terancam Punah” merinci kepunahan bahasa derah sebagai berikut: Dari 50 bahasa daerah di Kalimantan, satu terancam punah. Di Sumatra, dari 13 bahasa daerah yang ada, satu terancam punah dan satu sudah punah. Di Jawa, tidak ada bahasa daerah yang terancam punah. Di Sulawesi, dari 110 bahasa daerah, 36 terancam punah dan satu sudah punah. Di Maluku, dari 80 bahasa daerah, 22 terancam punah dan 11 punah. Di daerah Timor, Flores, Bima dan Sumba, 8 dari 50 bahasa terancam punah. Di Papua dan Halmaherah, 56 dari 271 bahasa terancam punah. Walianggen lebih menegaskan bahwa pada tahun 2006, sembilan bahasa dinyatakan punah, 32 segera punah dan 208 terancam punah. (Cepos, 2007).
Apa yang harus dilakukan sekarang dalam menghadapi kecemasan seperti ini di Papua? Peran apa yang patut dimainkan oleh kaum muda sebagai pemilik kepentingan dalam mempertahankan identitas dan semesta budaya etnik Papua? Setidaknya ada tiga jawaban untuk ini. Pertama, memfungsikan bahasa Papua serta bahasa-bahasa etnik lainnya sebagai semesta pengungkapan kreativitas dan suasana batin. Kedua, menyediakan alih generasi seniman-seniman etnik yang tetap dapat memfungsikan keterampilan dan keaksaraan kultural. Ketiga, menginstalasi susastra daerah beserta nilai-nilai etik yang menyertainya ke dalam berbagai ranah dan jenjang pendidikan.
Pada akhirnya, dengan meminjam pepatah-petitih etnik, Hai kamu kaum muda jangan ibarat “kacang yang lupa pada kulitnya”. Jika lupa, Id Card kaum muda akan tercecer. Kaum muda akan segera kehilangan kartu identitas. Jika semuanya tercecer dan hilang, maka: “saya tidak ada karena saya tidak punya identitas”.
Oleh karena itu, Orang yang sebut-sebut dia punya nama diatas itu bilang bahwa kita semua seharusnya berusaha melestarikan identitas kita.
You must be logged in to post a comment.